Nepal, August 2002
“Lenyap seperti aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan negerimu. Bahaya di belakangku tak mampu membuatku menoleh ke belakang. Semua menunjuk seakan akulah yang yang paling merah. Justru penjilat-penjilat itu yang membunuh Bung Karno dari belakang…"
Aku merasakan sejarah itu harus tersimpan rapat, ketika sebuah luka tertoreh kembali, dan baunya anyir.
Dan lelaki itu menangis, malam itu. Malam setelah aku mengejeknya di angkasa, menyusuri pegunungan Himalaya, dengan pertanyaan “Haruskah kita hanya pasrah?”
Lelaki itu meronta dalam masa lalunya, akan sejarahnya. Tiga puluh tujuh tahun lebih pengembaraan, dia tak berhenti membuat sejarah, parade kesepian. Sesuatu yang tak ku mengerti. Bukankah sebuah episode baru bisa tercipta, ketika yang lalu harus ditamatkan? Tapi sepertinya dia menikmatinya. Dan dia tak punya jawab akan pertanyaanku itu tadi.