“Jika seseorang mengidentikkan ‘aku’-nya dengan wujud materi maka bersiaplah ia untuk kecewa dan babak belur. Ketika orang lain memuji mobilnya, ia akan merasa ikut terpuji. Namun ketika mobilnya tabrakan dan penyok-penyok, dirinya pun ikut merasa hancur dan penyok-penyok. Mobil dan dirinya seolah sudah menyatu.”
Itulah ilustrasi tentang rapuhnya identitas-materiil ketika tidak disangga oleh pola pikir bahagia. Ya, pola pikir. Bukan sekadar pengetahuan tentang kebahagiaan yang mudah terlupakan. Poin pola pikir bahagia itu antara lain:
• Sayangi hati (jiwa rabbani), sumber syukur dan cinta kepada Tuhan yang akan selalu membuahkan gairah hidup, daya tahan, dan harapan. Kekuatan inilah yang akan mengalahkan berbagai fluktuasi hidup, sehingga hal-hal fisik sama sekali tidak mempengaruhi kebahagiaan diri.
• Rawat dan sayangi anugerah tubuh, dengan makanan halal dan baik secara medis, sehingga ia mampu menyangga dan mendukung kesehatan jiwa-jiwa yang bertumbuh kembang di dalamnya.
Inilah buah pengalaman dan renungan Mas Komar—panggilan akrab Prof. Dr. Komaruddin Hidayat—tentang identitas diri sejati anak manusia, tentang virus-virus yang merusak kebahagiaan, dan akhirnya tentang pola pikir bahagia.