Madre

Yang jelas, di mataku ia seperti anak kucing yang ingin berdandan seperti ratu singa.

Saya rindu pantai. Tapi, pantai tidak perlu jadi rumah saya. Rumah adalah tempat di mana saya dibutuhkan.

Saya meninggalkan Bali. Menetap di kota yang paling saya hindari. Bekerja rutin di satu tempat yang sama setiap hari. Ternyata sampai hari ini saya masih waras. Saya rindu pantai. Tapi, pantai tidak perlu jadi rumah saya. Rumah adalah tempat di mana saya dibutuhkan.

Ndak ada hal yang kebetulan, Tansen. Madre sudah memilih kamu,” tegasnya.

“Ini Madre.” Pak Hadi berkata.
Sejenak aku berharap adonan yang dipanggil Madre itu akan berubah jadi bidadari cantik atau minimal menyapa “selamat pagi”. Namun, ia tetap diam membeku sebagaimana harusnya benda mati. Ludahku tertelan macam sebutir peria. Telah kuseberangi pulau, demi seseorang yang tak kukenal, yang mewariskan kepadaku... adonan? Harus kutarik semua otot humorku agar bisa mengapresiasi kelucuan ini. Dan, rasanya tetap tak lucu

Keluar dari kota pengap bernama Jakarta.

Dalam batinku beraduklah sekian banyak perasaan yang lebih kompleks daripada adonan roti, terbanting, teruleni, dan aku tahu semua itu akan tiba pada satu titik. Namun, di mana itu dan akan menjadi apa itu semua, adalah pertanyaan paling besar yang pernah kuhadapi dalam hidupku.

Kalau dirawat dengan benar, banyak hal di dunia ini yang makin tua makin berharga. Makin hidup dan malah makin enak.

Apa rasanya sejarah hidup kita berubah dalam sehari? Kayak tahu-tahu kecemplung di pasir isap. Makin dalam makin sesak. Hidup saya hari kemarin lebih sederhana. Hari ini hidup saya sangat kompleks

Kendati batas antara kebebasan dan ketakpedulian terkadang saru