Pemilihan Pandaya Sriwijaya seharusnya telah usai. Namun, kehadiran seorang gadis bercadar dengan rajah kupu-kupu di pipinya membuat keputusan Dapunta Cahyadawasuna berubah. Gadis itu tak kalah hebatnya dengan pandaya terpilih, seorang pemuda dengan tiga pedang. Pertempuran keduanya, dengan jurus-jurus kejutan yang begitu dahsyat, seakan tak akan pernah berakhir. Berbeda dari tradisi sebelumnya, Sriwijaya kini memiliki dua pandaya. Sriwijaya, di tengah ancaman kerajaan tetangga dan kedatuan-kedatuan yang tengah berkhianat, masih menggenggam ambisi menguasai Bhumi Jawa. Dibutuhkan pendekar-pendekar kuat nan digdaya untuk mencapainya, selain juga armada-armada yang tangguh. Namun, upaya mempertahankan kebesaran Sriwijaya bukan tanpa biaya. Ada luka, tangis, amarah, dan tak kalah ketinggalan, dendam. Dan, tak ada yang mengira, sebuah dendam bisa memorakmorandakan kesatuan terhebat di penjuru nusantara pada masa itu. Berhasilkah para pandaya Sriwijaya mempertahankan kembali kebesaran yang selalu dibanggakan para leluhur? Dalam 12 purnama, Balaputradewa mengucurkan darah 25.000 nyawa. Semua demi kebesaran sebuah nama: Sriwijaya. [Mizan, Bentang, Sejarah, Budaya, Indonesia]