Amarah terkait erat dengan sikap atau perilaku yang cenderung mengarah pada penolakan atau permusuhan kepada orang lain. Pintu utamanya adalah kontrol diri yang buruk, lalu mendatangkan sakit hati yang berat.
Semua itu berjalan sesuai naluri manusia untuk mempertahankan diri (gharîzah baqâ`). Dan naluri ini pada dasarnya dimiliki setiap manusia normal dan membutuhkan pemuasan. Walau jika tidak terpenuhi tak akan membawa kematian, namun kondisi ini akan menimbulkan kegelisahan. Karenanya, Islam memberi arahan yang sangat jelas untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia, termasuk amarah.
Dalam telaah psikologi Islam, Dr. Abdul Mujib mengungkapkan bahwa amarah termasuk salah satu bentuk gangguan kepribadian (personality disorder), yang dalam terminologi Islam klasik disebut sebagai akhlak tercela (akhlâq madzmûmah).
Sebagaimana gangguan kepribadian lainnya, amarah dapat mengganggu realisasi dan aktualisasi diri seseorang. Itu sebabnya seorang pemarah tak memiliki pertimbangan pikiran yang sehat. Ia juga tak memiliki kontrol diri yang baik dalam ucapan maupun perbuatan, bahkan ia cenderung berpikir negatif terhadap maksud baik orang lain.
Tidak berlebihan apabila Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah yang mampu melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan. Dan seburuk-buruknya orang adalah yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha.” (HR. Ahmad)
Menurut al-Ghazali dalam karya mahsyurnya, Ihyâ` Ulûm ad-Dîn, amarah (ghadhab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-harârah) yang melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (ar-ruthubah) dalam diri manusia. Karena itu, pengobatan gangguan ini bukanlah dilawan dengan kemarahan, tapi dengan kelembutan dan nasihat-nasihat yang baik.
Rasulullah berwasiat, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air. Maka barangsiapa yang marah hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud)