sebagai buruh kasar. Lalu, bagaimana dia bisa menyulap bakatnya menjadi bisnis miliaran rupiah?
Edward atau kerap dipanggil Edo pada usia 22 tahun masih seorang buruh bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung, Jawa Barat. Suatu hari, sebuah artikel di koran mengenai pengembangan talenta mengubah hidup Edo untuk selamanya. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya berkontemplasi untuk waktu yang cukup lama guna menemukan sebuah bakat. Pencarian ini berakhir dengan temuan bahwa sejak sekolah dasar dia sudah sangat menyenangi pelajaran menggambar. Dia pintar menggambar apa saja. Itu satu-satunya bakat yang dimiliki dan telah dilupakannya.
Tidak sulit baginya menghidupkan bakat itu lagi dengan objek baru yang sudah tidak asing lagi, sepatu. Edo mengamati model-model sepatu di gudang tempat dia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Dia mereka-reka desain sepatu pertamanya. Bermodal memodifikasi bertumpuk-tumpuk sepatu yang sehari-hari dilihatnya dengan sedikit tambahan imajinasi dan kreasi. Hasil desain sepatunya itu tampak lebih bagus. Bahkan, sang bos pun sebetulnya suka, tapi lebih memilih menolak tawaran agar desain itu diproduksi. Penolakan itu tidak membuat Edo jera. Dia tetap rajin membuat desain-desain baru untuk disimpan di laci meja.
Pada 1989, dia mengambil keputusan, setelah melihat tidak adanya peluang mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Anak muda ini nekat mengundurkan diri setelah 11 bulan bekerja. Kepada bosnya, Edo mengaku akan membangun usaha yang sama, tapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing. Ini keputusan yang cukup gila untuk orang miskin pada zamannya, menjual sepatu hanya dengan gambar! Yup, hanya itu pilihan yang tersedia, tanpa sepeser pun uang. Dengan sepeda kumbang, Edo memulai aksi penjualan door to door, berkeliling kompleks menawarkan sketsa sepatu, dari pintu rumah tetangga, kerabat, dan teman. Sial bagi Edo, cara penjualan nan unik ini malah dianggap aneh. Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah. Menjual gambar benar-benar ide gagal. Terlebih lagi, Edo mensyaratkan uang muka untuk sebuah pesanan sepatu virtual itu,